9 Juli 2025, satu nama baru mencuri perhatian lantai bursa: PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA). Sahamnya resmi tercatat di BEI dan langsung mencapai Auto Rejection Atas (ARA) di harga pembukaan. Namun yang membuatnya benar-benar jadi fenomena bukan hanya soal kenaikan harga, melainkan skala oversubscribe yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Dengan hanya menawarkan 12,48 miliar lembar saham atau 10% dari total modal ditempatkan, CDIA menerima permintaan hingga 563,64 kali lipat. Total investor yang ikut memesan mencapai 400.126 akun—angka yang tak hanya luar biasa, tapi juga menjadi rekor baru di BEI.
Di tengah maraknya IPO emiten grup konglomerasi, pertanyaan pun muncul: apa sebenarnya yang ditawarkan CDIA? Apakah ini hanya efek jaringan bisnis Prajogo Pangestu yang kembali bermain? Atau memang ada nilai yang patut dicermati untuk horizon jangka panjang?
Di Balik Nama: Siapa dan Apa Itu CDIA?
CDIA bukan sekadar entitas baru yang dilepas ke publik. Perusahaan ini adalah bagian dari CDI Group, konglomerasi yang masih satu ekosistem dengan raksasa-raksasa seperti Barito Renewables (BREN), Petrindo Jaya Kreasi (CUAN), dan Chandra Asri Petrochemical (TPIA). Semua nama itu punya satu benang merah: Prajogo Pangestu, figur sentral yang kini mendominasi emiten berbasis energi dan infrastruktur.
Fokus CDIA adalah infrastruktur yang menopang logistik energi dan industri. Bisnisnya mencakup penyimpanan, distribusi, kepelabuhanan, pengangkutan air, hingga pengembangan jaringan pipa. Berbeda dari perusahaan tambang atau petrokimia yang menjual komoditas, CDIA adalah penyedia infrastruktur keras di belakang layar—yang memindahkan, menampung, dan menjaga aliran rantai pasok tetap berjalan.
Secara model bisnis, CDIA beroperasi melalui unit-unit seperti CSI, MIM, CSP, dan CCP, yang masing-masing menangani bidang logistik, kepelabuhanan, penyimpanan, dan infrastruktur pendukung. Dengan posisi ini, CDIA menjadi simpul penting dalam jaringan distribusi grup. Selama aktivitas bisnis BREN, CUAN, dan TPIA terus tumbuh, kebutuhan terhadap infrastruktur milik CDIA akan mengikuti.
IPO Rp 2,3 Triliun: Skema, Harga, dan Alokasi Saham
Untuk masuk bursa, CDIA menawarkan 12,48 miliar lembar saham kepada publik—jumlah ini hanya 10% dari modal ditempatkan. Harga penawaran ditetapkan di Rp 190 per saham, sehingga total dana yang dihimpun mencapai Rp 2,37 triliun. Penawaran berlangsung mulai 2 hingga 7 Juli 2025, diikuti oleh penjatahan dan distribusi pada tanggal 7 dan 8, lalu resmi tercatat di BEI pada 9 Juli.
Dengan jumlah saham publik yang terbatas dan afiliasi bisnis yang kuat, ekspektasi pasar terhadap emiten ini sudah tinggi bahkan sebelum hari pencatatan. Mekanisme e-IPO membuat partisipasi investor ritel lebih terbuka, tapi tetap terkunci pada satu fakta kunci: jumlah lot sangat terbatas dibanding permintaan aktual.
Ini artinya, meski secara nominal CDIA terlihat sebagai IPO jumbo, secara struktur pemegang saham, ia masih sangat terkonsentrasi di tangan internal dan strategis. Rasio saham publik hanya 1:9 terhadap saham non-publik, menciptakan kondisi pasokan rendah — sesuatu yang kemudian memicu efek lanjutan di hari pertama perdagangan.
Oversubscribe 563x: Fakta atau Alarm?
Angka 563 kali oversubscribe pada IPO CDIA terdengar fantastis—dan memang begitu adanya. Namun sebagai investor, penting melihat lebih dalam. Oversubscription bukan hanya menunjukkan antusiasme pasar, tapi juga ketidakseimbangan antara permintaan dan ketersediaan saham.
Dengan lebih dari 400 ribu akun investor ikut serta, rata-rata alokasi aktual yang didapat investor ritel hanya berada di kisaran 10–12 lot per akun. Ini berarti sebagian besar peserta hanya kebagian remah, meski sudah memasukkan pesanan dalam jumlah besar.
Dari sisi likuiditas, situasi ini mendorong tekanan beli tinggi sejak sesi pembukaan. Saham langsung ARA di level Rp 256—naik 34,74% dari harga IPO. Namun yang menarik bukan hanya pasar reguler, melainkan pasar negosiasi. Beberapa transaksi terjadi di level Rp 1.215, Rp 1.000, dan Rp 988—jauh di atas harga ARA.
Fenomena ini memunculkan dua hal: pertama, ketamakan spekulatif dari pihak tertentu yang mencoba mengakumulasi di pasar nego dengan harga ekstrem. Kedua, potensi ketidakwajaran valuasi pada fase awal perdagangan, yang bisa menjebak investor ritel yang FOMO tanpa analisis.
Perdagangan Perdana: ARA, Nego, dan Gerakan Aneh
Hari pertama CDIA di bursa menunjukkan dua dunia yang sangat kontras. Di pasar reguler, saham langsung mencapai Auto Rejection Atas di Rp 256. Volume saat itu masih kecil—sekitar 935.902 lembar dengan nilai transaksi tak sampai Rp 240 juta. Tapi situasi sangat berbeda terjadi di pasar negosiasi.
Di sana, muncul transaksi aneh: 10 lot CDIA dijual pada harga Rp 1.215—naik lebih dari 500% dari harga IPO. Ada pula aktivitas di Rp 1.000 dan Rp 988. Total volume di pasar nego mencapai 2,8 juta lot, dengan nilai sekitar Rp 57 miliar dan harga rata-rata Rp 205.
Apakah ini berarti saham CDIA sudah “gila”? Tidak juga. Transaksi di pasar nego bersifat langsung antar pihak, dan bisa mencerminkan spekulasi jangka pendek, pengalihan blok saham, atau manuver akumulasi tertutup. Yang jelas, perbedaan harga antara pasar reguler dan nego memperlihatkan bahwa CDIA sedang “dimainkan” oleh lebih dari sekadar mekanisme pasar biasa.
Ke Mana Dana IPO Dialirkan?
Tak seperti beberapa emiten baru yang dananya habis untuk pelunasan utang atau operasional umum, CDIA justru menyalurkan hasil IPO ke arah yang lebih konkret. Dana Rp 2,37 triliun yang dihimpun akan digunakan untuk memperkuat dua lini utama:
- Rp 871,76 miliar untuk unit logistik (CSI dan MIM): pembelian kapal, pembiayaan operasional
- Rp 1,48 triliun untuk unit pelabuhan & penyimpanan (CSP dan CCP): membangun tangki, jaringan pipa etilena, serta infrastruktur pendukung lainnya
Penggunaan dana ini menegaskan bahwa CDIA bukan emiten proyek kosong. Mereka membangun aset nyata yang akan menopang ekosistem distribusi energi dan industri kimia dalam grup. Artinya, arus kas CDIA ke depan tidak hanya bergantung pada pasar, tapi juga kontrak internal dengan entitas grup.
Apa yang Ditawarkan CDIA untuk Jangka Panjang?
Dari sisi prospek, CDIA punya positioning yang unik. Ia tidak memproduksi energi atau menjual barang mentah—melainkan menyediakan infrastruktur distribusi yang krusial. Selama anak usaha Prajogo lainnya (seperti CUAN, BREN, TPIA) terus berjalan, CDIA akan tetap relevan sebagai penggerak belakang layar.
Lebih jauh, sektor yang digeluti CDIA—logistik energi, kepelabuhanan, dan penyimpanan industri—termasuk sektor dengan barrier to entry tinggi dan pertumbuhan regional kuat, terutama di Asia Tenggara. Artinya, CDIA tidak hanya tergantung pada pasar Indonesia.
Untuk investor jangka panjang, ini berarti ada potensi stabilitas, diversifikasi arus kas, dan ruang pertumbuhan yang terukur. CDIA juga punya keuntungan strategis karena posisinya di tengah ekosistem grup—bukan harus bersaing di luar, tapi sudah menjadi bagian dari rantai nilai internal.
CDIA Layak Dikoleksi atau Sementara Dilupakan?
CDIA bukan saham gorengan, tapi juga bukan instrumen tanpa risiko. Dengan jumlah saham publik yang minim, fluktuasi harga bisa ekstrem di awal, dan itu membuat saham ini rawan dimainkan. Namun dari sisi fundamental dan arah ekspansi, CDIA punya nilai strategis yang tak bisa diabaikan.
Investor ritel perlu melihat lebih dari sekadar ARA berulang. CDIA tidak menjanjikan ledakan dividen jangka pendek, tapi berpotensi jadi tulang punggung infrastruktur energi nasional. Bagi yang berorientasi jangka panjang dan sanggup menahan volatilitas, saham ini layak dikoleksi secara bertahap.
Sebaliknya, jika niat hanya untuk spekulasi jangka pendek tanpa data, CDIA bisa jadi ladang jebakan. Di akhir hari, kembali ke pertanyaan klasik: apakah kamu sedang cari momentum, atau membangun posisi?