Right Issue adalah salah satu aksi korporasi yang mendapatkan perhatian investor. Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) ini menjadi salah satu strategi penting yang digunakan emiten untuk menghimpun dana segar. Meski sering terdengar rumit dan cenderung “hanya untuk investor besar”, faktanya right issue berdampak langsung terhadap nilai kepemilikan, harga saham, dan potensi imbal hasil investor ritel.
Mulai dari perusahaan infrastruktur seperti WIFI, emiten menara telekomunikasi TOWR, hingga raksasa properti seperti PANI—semua memanfaatkan right issue dalam kurun waktu 2025 untuk tujuan berbeda: ekspansi agresif, pelunasan utang, atau perkuat posisi keuangan. Pemahaman yang tepat terhadap mekanisme dan implikasi right issue tidak hanya membantu investor menjaga nilai asetnya, tapi juga membuka peluang untuk ikut serta dalam pertumbuhan jangka panjang perusahaan.
Artikel ini akan membahas secara progresif dan berbasis data: mulai dari pengertian dasar, perhitungan dampak dilusi, perbedaan dengan aksi korporasi lain seperti stock split, hingga analisis kasus nyata. Dengan memahami alurnya secara menyeluruh, investor diharapkan bisa bersikap rasional dan strategis saat emiten favorit mereka mengumumkan right issue.
Apa Itu Right Issue dan Mengapa Penting?
Right issue adalah hak yang diberikan oleh perusahaan publik kepada para pemegang saham eksisting untuk membeli saham baru yang diterbitkan dengan harga lebih rendah dari harga pasar. Aksi ini dilakukan dalam periode terbatas, dan hanya bisa diambil oleh investor yang memiliki saham sebelum tanggal cum-rights (cum date).
Mekanisme ini dikenal secara resmi di Indonesia sebagai Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) dan diatur dalam POJK No. 32/POJK.04/2015 tentang Penambahan Modal dengan Memberikan HMETD. Tujuan umumnya adalah:
- Menambah modal untuk ekspansi bisnis.
- Membayar atau merestrukturisasi utang.
- Memperkuat rasio ekuitas agar lebih sehat secara keuangan.
Saham baru yang diterbitkan melalui right issue biasanya memiliki harga pelaksanaan (exercise price) yang ditetapkan di bawah harga pasar. Namun, untuk bisa ikut serta, investor harus memegang saham tersebut sebelum ex-date. Setelah itu, mereka akan mendapatkan HMETD dalam portofolionya yang bisa dieksekusi, dijual, atau dibiarkan hangus.
Penjelasan Right Issue yang Mudah
Misalnya: PT Emas Merdeka Tbk melakukan right issue 1:2 (setiap 1 saham lama dapat membeli 2 saham baru) dengan harga pelaksanaan Rp 1.000, sedangkan harga pasar saat itu Rp 1.400.
- Investor dengan 1.000 lembar saham lama dapat membeli 2.000 lembar saham baru seharga Rp 1.000 per lembar.
- Jika tidak ikut serta, kepemilikan mereka akan terdilusi, karena jumlah saham beredar bertambah.
Dengan kata lain, right issue memberi kesempatan untuk mempertahankan persentase kepemilikan, namun juga membawa risiko jika diabaikan. Karenanya, memahami konsep dasar ini sangat penting sebelum menganalisis dampak-dampak berikutnya, termasuk terhadap harga dan nilai investasi kita.
Bagaimana Right Issue Mempengaruhi Harga Saham dan Kepemilikan?
Salah satu konsekuensi langsung dari penerbitan saham baru melalui penambahan modal dengan HMETD adalah efek dilusi. Karena jumlah lembar saham beredar meningkat, maka nilai relatif setiap saham yang dimiliki investor menjadi lebih kecil jika mereka tidak menggunakan haknya. Kondisi ini disebut pengenceran saham atau pengurangan porsi kepemilikan.
Selain itu, harga saham setelah ex-date juga mengalami penyesuaian. Penyesuaian ini bersifat mekanis dan dihitung berdasarkan formula harga teoritis setelah right issue atau dikenal dengan istilah TERP (Theoretical Ex-Rights Price):
TERP = [(Jumlah saham lama × harga pasar) + (Jumlah saham baru × harga tebus)] / Total saham setelah right issue
Jika harga pasar saham PT XYZ adalah Rp 1.400 dan perusahaan menerbitkan 2 saham baru untuk setiap 1 saham lama dengan harga tebus (exercise price) Rp 1.000, maka:
- Total nilai = (1 × Rp1.400) + (2 × Rp1.000) = Rp 3.400
- Total saham = 1 + 2 = 3
- TERP = Rp 3.400 / 3 = Rp 1.133
Setelah ex-rights date, harga saham akan terkoreksi ke kisaran Rp 1.133 karena mencerminkan komposisi baru antara saham lama dan saham baru. Investor yang tidak menebus haknya akan mengalami penurunan nilai aset, sementara yang ikut serta dapat mempertahankan porsinya.
Inilah mengapa, sebelum memutuskan untuk mengambil atau melewatkan hak tebus saham baru, investor harus menghitung potensi keuntungan relatif terhadap harga pasar dan mengevaluasi kemampuan finansial serta prospek emiten ke depan.
Perbedaan Right Issue dan Stock Split, Jangan Tertukar
Di lapangan, masih banyak investor pemula yang menyamakan right issue dengan aksi stock split. Padahal, keduanya adalah aksi korporasi yang sangat berbeda—baik dari sisi tujuan, dampak harga, maupun implikasi kepemilikan.
Aspek | Right Issue | Stock Split |
---|---|---|
Tujuan | Menambah modal segar perusahaan | Menurunkan harga saham agar lebih likuid |
Implikasi Kepemilikan | Dilusi jika hak tidak diambil | Tidak ada dilusi, hanya perubahan nominal |
Dampak terhadap Harga | Koreksi sesuai perhitungan TERP | Harga turun proporsional sesuai rasio split |
Persetujuan Regulator | Perlu persetujuan RUPS dan efektif dari OJK | Lebih sederhana, tidak menambah modal |
Aliran Dana Masuk | Masuk ke kas perusahaan | Tidak ada dana tambahan masuk |
Dengan memahami perbedaan ini, investor bisa mengantisipasi dampak masing-masing aksi korporasi terhadap valuasi dan keputusan investasi. Right issue adalah aksi aktif yang mengharuskan keputusan, sedangkan stock split bersifat pasif dan hanya berdampak kosmetik.
Contoh Right Issue 2025: WIFI, TOWR, dan PANI
WIFI – Ekspansi Infrastruktur dengan Dukungan Strategis
PT Solusi Sinergi Digital Tbk (WIFI) menggelar right issue besar-besaran senilai Rp 5,9 triliun pada Juni 2025. Tujuannya adalah pengembangan jaringan serat optik (fiber-to-the-home) sebanyak 4 juta homepasses di Pulau Jawa, serta perluasan lini bisnis Business-to-Consumer (B2C).
Yang menarik, aksi ini didukung oleh mitra strategis asal Jepang, NTT East, yang mengakuisisi 49% saham anak usaha WIFI, yaitu WEAVE. Karena proyeksi pendapatan WEAVE diperkirakan meningkat drastis, manajemen menyatakan bahwa aksi korporasi ini tidak akan menurunkan EPS secara signifikan—non-dilutif dalam jangka menengah.
TOWR – Menurunkan DER Lewat Rights Issue
PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) melakukan penawaran saham terbatas dengan target pengumpulan dana Rp 5,49 triliun. Tujuannya adalah memperbaiki struktur utang, dengan target menurunkan rasio DER (Debt-to-Equity Ratio) dari 3,19x ke 2,75x.
Menariknya, pemegang saham utama memilih tidak menggunakan haknya, dan sebagai gantinya menunjuk PT Dwimuria Investama Andalan sebagai pembeli siaga. Strategi ini menunjukkan komitmen kuat untuk menjaga kelancaran aksi, namun di sisi lain, investor publik harus memahami bahwa terjadi pergeseran komposisi kepemilikan.
PANI – Ekspansi Properti, Tapi Rumor Terbaru Dibantah
PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PANI) sempat melakukan right issue senilai Rp 10,48 triliun untuk mendanai ekspansi proyek properti dan akuisisi lahan baru di kawasan PIK 2. Rasio yang digunakan adalah 200:31, dengan harga pelaksanaan Rp 5.000 per saham.
Namun pada pertengahan 2025, muncul rumor akan adanya right issue lanjutan. PANI secara resmi membantah kabar tersebut, meski tetap menyatakan terbuka terhadap aksi korporasi ke depan. Sikap terbuka seperti ini memperlihatkan fleksibilitas strategi bisnis yang adaptif terhadap kebutuhan modal dan peluang pasar.
Ketiga contoh di atas menunjukkan bahwa right issue tidak selalu negatif. Jika digunakan untuk tujuan produktif, seperti ekspansi atau restrukturisasi yang kredibel, maka efek jangka panjang terhadap valuasi perusahaan bisa sangat positif.
Apa yang Perlu Dicermati Investor Saat Menghadapi Right Issue?
Bagi investor publik, right issue bukan hanya soal tambahan lembar saham. Ini adalah keputusan strategis yang memengaruhi nilai investasi, posisi kepemilikan, serta arah pertumbuhan portofolio dalam jangka menengah. Berikut beberapa hal yang wajib dicermati:
1. Evaluasi Prospektus dan Tujuan Right Issue
Setiap penawaran HMETD disertai prospektus yang menjelaskan latar belakang, rencana penggunaan dana, rasio, harga pelaksanaan, hingga risiko-risikonya. Pastikan investor memahami apakah dana tersebut dialokasikan untuk:
- Ekspansi aset produktif (positif)
- Restrukturisasi utang jangka pendek (perlu dianalisis lebih dalam)
- Tambal arus kas negatif akibat inefisiensi (perlu kehati-hatian)
2. Bandingkan Harga Teori dan Harga Pasar
Perhitungan harga saham setelah HMETD (TERP) dapat digunakan untuk menilai apakah penawaran ini memberikan peluang arbitrase. Jika harga pelaksanaan terlalu jauh di bawah TERP, bisa jadi potensi dilusinya juga besar. Sebaliknya, jika harga tebus hanya sedikit di bawah pasar dan prospek EPS naik, ini bisa menjadi peluang menarik.
3. Pertimbangkan Kemampuan Finansial dan Strategi Jangka Panjang
Investor juga perlu realistis: apakah siap menyediakan dana tambahan untuk menebus HMETD? Jika tidak, ada dua opsi:
- Menjual hak HMETD di pasar sekunder (jika diperdagangkan)
- Merelakan dilusi dan memperkecil eksposur di saham tersebut
Jika investor percaya pada fundamental emiten dan sanggup menambah modal, ikut serta dalam right issue bisa menjadi strategi akumulasi dengan harga diskon.
Right Issue Bukan Momok, Tapi Butuh Perhitungan
Penambahan modal melalui HMETD seringkali disalahpahami sebagai tanda perusahaan bermasalah. Padahal, dalam banyak kasus, right issue merupakan alat pembiayaan strategis untuk mendanai ekspansi, membayar utang, atau memperkuat posisi modal. Yang membedakan adalah:
- Tujuan penggunaan dana – produktif atau tambal sulam?
- Harga pelaksanaan – wajar atau terlalu dilutif?
- Keterlibatan investor utama – ikut serta atau malah tidak ambil hak?
Dari contoh Right Issue Saham WIFI, TOWR, dan PANI, kita belajar bahwa right issue dapat mendorong ekspansi agresif, memperbaiki struktur keuangan, atau membuka pintu kemitraan strategis lintas negara. Namun, investor ritel tetap harus membaca prospektus, menghitung rasio, dan menyesuaikan strategi investasinya secara rasional.
Dengan pemahaman yang utuh dan berbasis data, investor bisa mengubah momen right issue menjadi peluang akumulasi saham berkualitas, bukan jebakan likuiditas.