Pernah lihat saham yang tiba-tiba jadi topik panas di forum, grup Telegram, atau FYP TikTok? Harganya naik gila-gilaan, orderbook tipis, dan katanya “lagi diangkat bandar.” Tapi beberapa hari kemudian… jeblok. Gak ada berita buruk, gak ada laporan keuangan jelek, tapi harganya rontok.
Fenomena ini bukan hal baru di bursa Indonesia. Di balik euforia tersebut, ada dua jenis saham yang sering “terlihat” sama, tapi sebenarnya sangat beda: saham tipis dan saham gorengan.
Saham tipis adalah saham yang memang punya jumlah free float rendah dan tidak banyak diperdagangkan. Likuiditasnya minim bukan karena manipulasi, tapi karena memang struktur kepemilikannya sempit.
Saham gorengan adalah saham yang secara sadar dimanipulasi — baik lewat narasi, volume palsu, atau markup harga. Tujuannya: menarik minat investor ritel agar ikut beli di atas, lalu ditinggal saat distribusi dimulai.
Masalahnya, di mata investor awam, keduanya tampak sama: grafiknya liar, volume tiba-tiba melonjak, dan banyak akun publik/influencer mulai membahasnya. Di sinilah risiko terbesar muncul — karena investor ritel masuk tanpa tahu siapa lawannya.
Bursa Indonesia (IHSG) terus berkembang, jumlah investor ritel terus naik, dan akses beli saham lewat aplikasi seperti Stockbit, IPOT, Ajaib, dan Mirae semakin mudah. Tapi makin gampang beli saham, makin besar pula potensi terseret ke saham yang hanya terlihat “aktif”, padahal sedang dimanipulasi secara halus.
Artikel ini akan bantu kamu membedakan dua dunia itu. Biar kamu tahu: mana saham yang memang tipis secara struktur, dan mana yang sengaja digoreng buat jebakan.
Di bagian selanjutnya, kita bahas dulu apa sebenarnya yang dimaksud dengan saham tipis — dan kenapa mereka terlihat menarik tapi bisa jadi bahaya tersembunyi.
Saham Tipis Itu Apa Sih? Kenapa Bisa Tiba-Tiba Naik Brutal?
Saham tipis adalah istilah informal yang mengacu pada saham dengan jumlah saham publik (free float) yang rendah dan aktivitas perdagangan harian yang minim. Biasanya dimiliki oleh keluarga, grup konglomerat, atau segelintir investor besar. Saham seperti ini sebenarnya tidak salah — tapi bisa jadi medan permainan yang berisiko tinggi buat investor ritel.
Ciri-Ciri Saham Tipis:
- Free Float Rendah: Di bawah 7,5% dari total saham beredar
- Volume Perdagangan Kecil: Kadang hanya ratusan lot per hari
- Bid-Offer Spread Lebar: Selisih harga beli dan jual bisa belasan poin
- Volatilitas Tinggi: Mudah naik ARA, tapi juga bisa ARB mendadak
Contoh? Lihat saham yang baru-baru ini disuspensi BEI karena float-nya terlalu kecil, seperti BCIC, SUPR, atau PLIN. Mereka bukan saham “gorengan”, tapi karena hanya sedikit saham yang bisa diperdagangkan, harga mudah digerakkan oleh volume kecil saja.
Kenapa Saham Tipis Terlihat Menggiurkan?
Karena pergerakannya ekstrem. Sekali ada yang beli besar, langsung naik signifikan. Ini yang bikin banyak ritel tergoda — merasa “ada bandar masuk”, padahal bisa jadi hanya satu dua investor besar yang bertransaksi di pasar sempit.
Aplikasi sekuritas seperti Stockbit, IPOT, Ajaib, dan MOST kadang menampilkan saham ini di daftar “Top Gainers” atau “Top Volume” — tapi hati-hati: itu bukan sinyal aman beli. Justru perlu waspada terhadap saham yang ramai tiba-tiba, padahal sebelumnya sepi total.
Saham Tipis ≠ Gorengan
Yang penting dipahami: saham tipis bukan berarti jelek atau hasil manipulasi. Banyak saham tipis adalah perusahaan sehat yang belum membuka kepemilikannya ke publik secara luas. Tapi, kondisi ini membuat mereka rawan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin menciptakan momentum palsu.
Di chunk selanjutnya, kita akan bahas: gimana cara mengenali saham yang memang sedang digoreng — bukan cuma tipis, tapi secara aktif dimanipulasi harga dan sentimennya. Stay alert!
Saham Gorengan: Dibuat Ramai, Ditinggal Sepi
Kalau saham tipis bisa naik karena strukturnya, saham gorengan sengaja dibuat naik oleh pelaku pasar yang punya agenda. Mereka menciptakan narasi, membangun euforia, dan mengatur orderbook sedemikian rupa agar tampak seolah ada demand besar.
Masalahnya, banyak investor pemula gak sadar sedang masuk ke jebakan. Maka dari itu, kamu wajib kenali ciri-ciri saham yang sedang “dimasak.”
1. Grafik Gak Wajar: Naik Tajam, Turun Brutal
Grafik saham gorengan seringkali seperti gunung: naik cepat dalam 1–2 hari (kadang ARA), lalu ambruk beberapa hari kemudian (kadang ARB beruntun). Tidak ada berita penting, tidak ada aksi korporasi logis — hanya permainan persepsi dan momentum.
2. Volume Tiba-Tiba Meledak
Volume transaksi harian bisa melonjak 10–20 kali lipat dari biasanya. Tapi anehnya, orderbook terlihat tipis — hanya ada antrian kecil di bid dan offer, dan spread-nya tetap lebar. Ini sinyal jelas manipulasi dengan volume semu.
3. Banyak Rekomendasi “Nongol Barengan”
Saat sebuah saham tiba-tiba dibahas serentak di berbagai grup Telegram, Twitter (X), TikTok, bahkan broadcast WA — kamu patut curiga. Koordinasi penyebaran narasi biasanya bagian dari taktik goreng, apalagi jika dibumbui janji “target sekian persen dalam 3 hari.”
4. Tidak Didukung Fundamental
Saham gorengan jarang punya kinerja keuangan bagus. Kadang malah sedang rugi besar, bisnisnya tidak jelas, atau dalam sengketa. Tapi karena float-nya rendah, harga tetap bisa “diatur” jika ada cukup volume masuk dari ritel yang tidak aware.
5. Pola Transaksi Janggal
Kalau kamu pakai fitur broker summary di IPOT atau Mirae, kamu bisa lihat satu-dua broker mendominasi pembelian dan penjualan — kadang broker yang sama beli dan jual sendiri dalam volume besar. Ini namanya crossing atau markup buatan, dan ini salah satu ciri klasik saham yang sedang digoreng.
Contoh Real?
Tenang, nanti di chunk studi kasus kita akan bongkar beberapa saham yang pernah kena peringatan UMA (Unusual Market Activity) dari BEI — supaya kamu bisa lihat langsung gimana pola gorengan itu berjalan dalam kenyataan.
Tapi sebelum itu, kita akan bahas dulu siapa sebenarnya yang “menggoreng” saham, dan seperti apa cara kerjanya di balik layar — supaya kamu gak jadi korban berikutnya.
Cara Kerja Bandar di Saham Gorengan
Istilah “bandar” mungkin sudah familiar di telinga investor ritel. Tapi siapa sebenarnya mereka, dan gimana cara mereka mengatur pergerakan harga di saham gorengan? Bukan semua bandar jahat — tapi dalam konteks gorengan, mereka bermain di wilayah abu-abu antara strategi canggih dan manipulasi pasar.
Siapa Saja yang Bisa Jadi Bandar?
- Pihak internal emiten: pemilik mayoritas, direksi, atau orang dekat
- Sindikasi broker: grup trader yang mengendalikan aktivitas beli-jual terkoordinasi lewat sekuritas tertentu
- Spekulan besar: investor berpengalaman dengan modal besar dan jaringan luas
Gak semua bandar adalah institusi resmi. Kadang mereka cuma kumpulan trader berpengalaman yang jago baca psikologi pasar dan orderbook. Yang pasti: mereka punya kontrol atas informasi, modal, dan momentum.
Cara Main Mereka: Dari Markup hingga Distribusi
- Markup Harga: Harga dinaikkan perlahan dengan bid kecil, lalu ditutup dengan offer besar di harga atas agar terlihat bullish.
- Distribusi Semu: Begitu banyak ritel masuk, mereka mulai jual bertahap ke publik sambil tetap seolah-olah beli lewat broker berbeda.
- Koordinasi Narasi: Bikin “rame” di media sosial, komunitas saham, atau kanal Telegram — biar makin banyak yang fomo.
- Cabut Perlahan: Setelah harga cukup tinggi dan permintaan ritel kuat, bandar mulai menghilang. Volume turun, bid tipis, lalu harga drop.
Bagaimana Deteksi Gerak Bandar?
Kalau kamu pakai Stockbit, IPOT, atau Mirae Sekuritas, coba cek fitur broker summary. Perhatikan jika ada broker yang dominan beli dan jual dalam volume besar — apalagi kalau broker itu nongol terus-menerus di saham yang berbeda tapi pola harganya sama. Itu bisa jadi “kendaraan” bandar.
Jangan lupa pantau juga running trade dan orderbook Level 2. Pola seperti tarik-offer mendadak, bid tebal yang tiba-tiba hilang, atau transaksi 1 lot berulang kali bisa jadi tanda gorengan sedang “digoreng habis”.
Bukan Teori Konspirasi, Tapi Realita Pasar
Gak semua yang naik itu sehat. Dan gak semua saham sepi itu buruk. Tapi begitu kamu lihat harga naik tanpa alasan + volume melonjak + rame di medsos + broker itu-itu lagi — stop dulu. Tahan beli. Amati dulu. Karena besar kemungkinan, kamu sedang mengintip dapur bandar yang sedang “memasak”.
Di bagian selanjutnya, kita bahas gimana dampak pola ini ke psikologi ritel — dan kenapa banyak investor pemula merasa “pasar gak adil” setelah terjun ke saham gorengan.
Kenapa Saham Gorengan Bikin Rugi, Bukan Cuma Duit, Tapi Mental
Gak sedikit investor pemula yang bilang, “Saham itu kayak judi,” setelah nyangkut di saham gorengan. Padahal bukan instrumennya yang bermasalah — tapi cara masuk, waktu masuk, dan informasi yang keliru yang bikin rugi. Semuanya berakar dari satu hal: psikologi pasar yang dikendalikan euforia dan ketakutan.
Dari FOMO ke Panic Sell
Gorengan bekerja bukan karena fundamental, tapi karena massa ritel yang fomo. Begitu harga naik 10–20% sehari, muncul narasi: “bandar mulai naikkin”, “ini baru pemanasan”. Sayangnya, mayoritas masuk justru di puncak, saat distribusi mulai jalan.
Ketika harga koreksi tajam atau kena ARB (Auto Reject Bawah) beruntun, ritel panik. Bid menghilang, offer menumpuk, order jual gak match. Saat itulah, kepanikan jadi domino. Bukan cuma saham itu yang kena, tapi juga sentimen pasar lebih luas — bahkan ke IHSG kalau saham gorengan itu punya market cap lumayan.
Efek Jangka Panjang ke Investor Ritel
- Trauma Investasi: Banyak ritel keluar dari pasar untuk waktu lama setelah nyangkut di saham gorengan.
- Loss Mentality: Keinginan untuk “balikin modal” bikin keputusan selanjutnya makin ngawur.
- Persepsi Salah: Pasar dianggap penuh manipulasi, padahal masalahnya pada pemahaman mekanisme pasar yang minim.
Efek Sistemik: IHSG Bisa Ikut Goyang
Beberapa saham gorengan bisa punya bobot indeks cukup besar, apalagi jika sedang “diangkat” bandar pakai volume besar. Jika harga saham tersebut anjlok drastis, bisa memicu koreksi indeks seperti LQ45 atau bahkan IHSG — ini yang sering disebut “fake rally” atau “false recovery”.
Apalagi kalau media mulai memberitakan saham-saham itu tanpa filter. Ritel yang hanya lihat headline bisa makin terseret arus, sementara pelaku utama sudah keluar lebih dulu.
Peran Sekuritas dan Platform
Sekarang, aplikasi seperti IPOT, Ajaib, Mirae, dan Stockbit makin gencar menyediakan edukasi — mulai dari notifikasi UMA, alert volatilitas, dan rekomendasi berbasis data. Tapi edukasi tetap tanggung jawab pribadi. Karena kalau kita cuma ikut arus, maka cepat atau lambat… kita tenggelam.
Di chunk berikutnya, kita akan bongkar langsung beberapa contoh saham gorengan di Indonesia yang pernah disorot BEI karena pergerakan harganya gak masuk akal. Lo akan lihat polanya, dan bisa ambil pelajaran biar gak kejebak lagi.
Ini Dia Contoh Nyata Saham Gorengan – Pernah Viral, Tapi Berakhir Ngenes
Teori akan selalu kalah dengan praktik di lapangan. Untuk itu, kita bahas beberapa saham yang sempat naik tajam, jadi bahan obrolan komunitas, lalu akhirnya kena peringatan Unusual Market Activity (UMA) atau bahkan disuspensi BEI. Semua contohnya nyata dan bisa dicek langsung di situs resmi Bursa Efek Indonesia.
ARGO (PT Argo Pantes Tbk) – Juli 2025
ARGO tiba-tiba masuk radar ritel setelah melonjak drastis dalam waktu singkat, padahal sebelumnya hampir tidak aktif. Lonjakan harga hingga menyentuh Auto Reject Atas (ARA) berulang hari demi hari. Tapi tanpa aksi korporasi, tanpa laporan keuangan baru, dan tanpa kabar bisnis.
BEI akhirnya mengeluarkan peringatan UMA tanggal 7 Juli 2025. Saham ini sempat jadi top trending di Stockbit dan Twitter X, tapi akhirnya sepi tanpa ada distribusi informasi lanjutan.
ZBRA (PT Dosni Roha Indonesia Tbk) – Agustus 2024
ZBRA sempat viral setelah dihubungkan dengan rencana digitalisasi logistik. Harga meroket ratusan persen dalam waktu singkat. Tapi setelah itu, harga drop hampir 70% dalam beberapa minggu. Padahal tidak ada update realisasi dari narasi yang sempat membuat euforia pasar.
BEI mengeluarkan notasi UMA karena volume dan volatilitasnya tidak konsisten dengan informasi publik. Pola broker summary-nya menunjukkan akumulasi awal oleh 1-2 broker, lalu distribusi ke ritel saat narasi mulai ramai.
MCAS dan POLU – Tahun 2023–2024
Kedua saham ini sempat dicurigai mengalami markup harga yang terlalu tajam untuk ukuran likuiditas hariannya. POLU, khususnya, beberapa kali muncul di daftar UMA karena spread yang terlalu lebar dan kenaikan harga yang ekstrem tanpa dukungan berita korporat.
Apa Benang Merahnya?
- Volume melonjak tajam dalam waktu singkat, padahal sebelumnya sepi
- Tidak ada berita resmi yang mendukung kenaikan harga
- Perdagangan didominasi oleh satu atau dua broker
- Harga turun drastis setelah sentimen mulai dingin
Pelajaran Buat Kita?
Kalau saham tiba-tiba aktif setelah lama tidur, lalu viral di media sosial, tapi gak ada informasi valid dari emiten atau BEI — itu red flag. Sebelum beli, cek dulu:
- Apakah pernah kena UMA?
- Siapa broker dominan?
- Adakah informasi resmi?
Saham gorengan selalu punya satu kesamaan: harga naik karena persepsi, bukan karena prospek. Dan begitu narasi berakhir, cuma yang masuk awal yang untung. Sisanya? Tinggal cerita dan chart merah.
Di chunk berikutnya, kita bahas cara bertahan di ekosistem yang berisik ini: bagaimana strategi ritel agar bisa ambil peluang tanpa terjebak di permainan “bandar goreng.”
Bisa Cuan di Saham Volatil, Tapi Jangan Masuk Tanpa Peta
Ritel bukan berarti selalu kalah. Tapi untuk bertahan — bahkan menang — di pasar yang dipenuhi “permainan” harga seperti saham gorengan, dibutuhkan strategi yang lebih dari sekadar ikut trending. Di sini kita bahas pendekatan praktis yang bisa dipakai siapa pun, termasuk pemula, asal punya disiplin.
1. Kenali Struktur Saham Sebelum Masuk
Sebelum beli, cek dulu rasio free float dan volume rata-rata harian. Di aplikasi seperti Stockbit atau IPOT, kamu bisa lihat data itu secara cepat. Kalau saham cenderung sempit pergerakannya tapi harga meledak, besar kemungkinan sedang dimainkan.
Gunakan stock screener kustom untuk menyaring saham dengan kriteria likuiditas minimum dan volume stabil. Hindari saham yang tiba-tiba aktif hanya karena narasi viral.
2. Jangan Asal Masuk, Tentukan Entry & Exit Jelas
Pasar saham bukan tempat tebak-tebakan. Setiap entry harus punya rencana exit. Jika kamu memang ingin swing trade di saham volatil:
- Gunakan stop loss ketat (misal: 3–5%)
- Ambil profit secara bertahap (staggered sell)
- Batasi size — jangan full portofolio di saham high-risk
3. Manfaatkan Alert & Notifikasi Cerdas
Platform seperti Mirae dan Ajaib sekarang punya fitur notifikasi corporate action, peringatan UMA, bahkan harga tembus resistansi. Gunakan ini untuk deteksi dini perubahan abnormal pada saham target kamu.
4. Amati Broker Summary, Tapi Jangan Terlalu Tergantung
Broker summary bisa memberi sinyal dini: siapa yang akumulasi, siapa distribusi. Tapi ingat, itu bukan indikator pasti. Justru sering dipakai untuk mengarahkan opini publik. Gunakan sebagai konfirmasi, bukan dasar tunggal keputusan.
5. Perhatikan Kalender Lock-Up
Kalau saham baru IPO atau hasil RTO, cari tahu kapan periode lock-up berakhir. Saat saham mulai bisa dijual oleh insider, biasanya muncul lonjakan volume dan fluktuasi harga. Informasi ini bisa dilihat di prospektus emiten atau berita korporat resmi di situs IDX.
6. Jangan Asal Hold, Evaluasi Berkala
Banyak ritel nyangkut karena tidak disiplin mengevaluasi. Pegang saham bukan karena yakin, tapi karena “sayang kalau dijual rugi.” Padahal logika portofolio harusnya: potong rugi cepat, biarkan untung berkembang.
Kalau harga turun dan volume hilang, jangan tunggu pulih. Evaluasi: apakah masih ada alasan logis untuk pegang saham itu?
Intinya: Ritel Bukan Korban, Tapi Harus Jadi Pengamat Aktif
Dengan informasi yang makin terbuka dan tools makin lengkap, investor ritel sekarang bisa menghindari jebakan saham gorengan. Bukan soal jadi ahli teknikal — tapi soal melatih filter, logika, dan disiplin.
Di bagian terakhir nanti, kita simpulkan kunci-kunci utama dari artikel ini, dan arahkan pembaca ke artikel lanjutan yang akan bahas aspek free float dan volatilitas lebih dalam dari sisi indeks dan dampaknya ke pasar lebih luas.
Saham Boleh Panas, Tapi Kepala Harus Dingin
Dunia saham itu luas, dinamis, dan penuh peluang — tapi juga penuh jebakan buat mereka yang buru-buru masuk tanpa peta. Kita sudah bahas panjang soal saham gorengan: mulai dari definisi, struktur tipis, strategi bandar, hingga cara menghindari jerat psikologisnya.
Satu hal yang pasti: pasar bukan tempat menunggu disuapi. Ritel perlu lebih aktif membaca data, mengenali pola, dan terutama mengelola ekspektasi. Karena sering kali, kerugian bukan terjadi karena sahamnya salah — tapi karena mindset-nya belum siap.
Apa Selanjutnya?
Kalau kamu merasa pernah:
- Masuk beli saat harga tinggi karena takut ketinggalan
- Panik jual di dasar karena gak kuat lihat portofolio merah
- Menyesal karena tahu info belakangan
Maka artikel lanjutan berikut ini wajib kamu baca:
Psikologi Trading Saham: Kenapa Kita Sering Masuk Saat Puncak dan Jual di Dasar
Di artikel itu, kita akan bedah:
- Kenapa kita fomo padahal tahu itu bahaya?
- Bagaimana sistem pasar “menguji” mental ritel setiap hari?
- Cara sederhana supaya tetap rasional di tengah hype dan ketakutan
Ingat, cuan itu bukan sekadar teknikal — tapi soal bisa bertahan di tengah noise, mengelola risiko, dan tetap objektif saat semua orang panik. Dan itu semua dimulai dari memahami cara pikir kita sendiri.
Klik lanjut ke artikel berikutnya dan mulai belajar bukan cuma dari grafik, tapi dari kepala sendiri.